Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KUTACANE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Ktn Khairul Amri Sinulingga Als Amri Negara Kesatuan Republik Indonesia Cq Kapolri ,Cq Polda Aceh Cq Kapolres Aceh Tenggara Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 15 Agu. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Ktn
Tanggal Surat Kamis, 15 Agu. 2019
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Khairul Amri Sinulingga Als Amri
Termohon
NoNama
1Negara Kesatuan Republik Indonesia Cq Kapolri ,Cq Polda Aceh Cq Kapolres Aceh Tenggara
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

KANTOR PENGACARA & KONSULTAN HUKUM

DRS. MAHIDIN A. DESKY SH, MH & REKAN

Jl. Rajabintang, No. 56, Desa Mbarung, Kec. Babussalam, Aceh Tenggara, Hp: 081392767406

 

Kepada yth. 

Bapak Ketua Pengadilan Negeri Kutacane

Di Kutacane

 

Hal : Permohonan Praperadilan

Atas nama : Khairul Amri Sinulingga Sebagai Pemohon

Terhadap

Keabsahan Penetapan Sebagai Tersangka dalam Dugaan Penghinaan dan atau Pencemaran nama baik

OLEH KAPOLRES ACEH TENGGARA, C/Q Kasat Reskrim POLRES ACEH TENGGARA  Sebagai Termohon

 

Dengan hormat,

Perkenankan Kami Drs. Mahidin  A. Desky, SH, MH, Pengacara dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara DRS, H. MAHIDIN A. DESKY, SH,MH, beralamat di Jl. Raja Bintang, No. 56, Desa Mbarung, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara, No. Hp 081392767406, dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal (9 Agustus 2019) baik secara bersama sama ataupun sendiri sendiri untuk dan atas nama Khairul Amri Sinulingga, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON, melawan:

Negara Kesatuan Republik Indonesia C/Q Kapolri, C/Q Polda Aceh, C/Q Kapolres Aceh Tenggara Jl. Ahmad Yani, Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara sebagai Termohon

karena adanya PENETAPAN SEBAGAI TERSANGKA oleh Termohon atas dugaan Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik terhadap Bapak Muhammad Ridwan, SE, M.Si melalui media sosial Akun Face Book atas nama Khairul Amri Sinulingga sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (3) UU ITE Tahun 2007 YO pasal pasal 45 ayat (3) UU ITE  UU No. 19 Tahun 2016 dan KUHP pasal 310 dan 311 oleh KAPOLRES ACEH TENGGARA.

Dasar Hukum Permohonan Prapradilan

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana  (KUHAP) pasal 1 ayat 10 menyatakan “ Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang undang ini, tentang;
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
  1. Bahwa selain itu praperadilan juga merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan juga bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).  
  2. Berdasarkan pada nilai itulah, penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeladahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar mengedepankan asas dan prinsip kehati hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
  3. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10)
  4. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili KEABSAHAN PENETAPAN TERSANGKA seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/214 sebagai berikut;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

 

 

Alasan Permohonan Praperadilan

Alasan Permohonan Praperadilan ini adalah tentang “KEABSAHAN PENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA”

Alat Bukti Tidak Terpenuhi

  1. Bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
  2. Bahwa berdasarkan pada isi postingan Pemohon dalam media akun Facebook atas nama Pemohon dan selama menjalani masa penyelidikan dan penyidikan, maka Pemohon merasa ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penghinaan dan Pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 aya (3) YO Pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 dan pasal 10 dan 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon Polres Aceh Tenggara.
  3. Berdasarkan pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan hukum atas penetapan pemohon sebagai tersangka.

Bahwa untuk melihat sejauhmana perbuatan pemohon ada indikasi melakukan tindakan pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dapat dicermati dari kronologis berikut ini;

  1. Bahwa penetapan sebagai tersangka kepada Pemohon karena adanya dugaan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik oleh Pemohon yang didasarkan isi postingan Pemohon dalam akun Face Booknya pada tanggal 20 Juni 2018 atau setidaknya dalam bulan tersebut yang memposting sebuah berita yang dikutip dari berita harian online habadaily.com dan kutipan dari pasal 4 UU TIPIKOR No. 31 Tahun 1999 serta penjelasannya. 

Bahwa isi postingan pemohon adalah sebagai berikut – Haba Daily.com pernah memberitakan kasus korupsi APBD Agara tahun 2004-2006

beberapa nama yang turut menikmati antara lain M.Ridwan Mantan kepala Subbag Perbendaharaan Setdakab Rp 250 juta (Sekda Agara saat ini).

Kalau M.Ridwan sudah mengembalikan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara kok tidak menjalani hukuman PENJARA ?

Sedangkan yang lain sudah mengembalikan hasil korupsi kepada negara tetap menjalani proses hukum.

Mari kita simak bunyi pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Relevansi antara pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan (terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999) serta penjelasannya. Dalam pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut

Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/ 1999 dijelaskan sebagai berikut: Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur unsur dalam pasal dimaksud, maka Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Kemudian merujuk pada pasal 2 UU 31/1999 serta penjelasannya, antara lain diketahui bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi merupakan delik formi, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian, suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara sudah dapat dikategorikan sebagai korupsi.

  1. Bahwa karena isi postingan tersebut merupakan kutipan dari berita online habadaily.com terkait putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No. No. 51/Pid.Sus-TPK/2014/PN Bna dan kutipan dari pasal 4 UU TIPIKOR No. 31 Tahun 1999 maka dapat dipastikan bahwa isi postingan tersebut adalah mengandung kebenaran bukan sebuah karangan.
  2. Bahwa Pemohon sebagai pegiat LSM anti korupsi sudah barang tentu memposting kasus korupsi APBD Aceh Tenggara Tahun 2004 – 2006 tersebut bertujuan untuk kepentingan umum yaitu agar pemerintahan daerah Aceh Tenggara dalam penempatan pejabat pada posisi strategis mempertimbangkan keterlibatan pejabat dalam kasus korupsi APBD Aceh Tenggara tahun 2004 -2006 demi terciptanya pemerintahan yang baiik (Good Governance).
  3. Bahwa berdasarkan postingan tersebut diatas Bapak Muhammad Ridwan melaporkan pemohon kepada Polres Aceh Tenggara dengan nomor laporan LP/B/133/VI/2018 dengan dugaan melakukan tindak pidana Penghinaan dan Pencemaran nama baik atas postingan Pemohon pada akun Face Booknya.
  4. Bahwa terkait kasus korupsi APBD Aceh Tenggara 2004 - 2006 tersebut berawal dari adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor putusan 19/Pid.B/TPK/2009/PN,Jkt.Pst yang man Bapak Armen Desky dinyatakan terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi APBD Aceh Tenggara Tahun 2004 - 2006, tetapi dalam kasus ini Bapak Armen Desky tidak hanya sendiri, tetapi dana Negara tersebut dikorupsi bersama 16 bawahannya.
  5. Bahwa terkait dengan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara Tahun 2004 - 2006 tersebut melibatkan beberapa pejabat pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara antara lain;
  1. Marthin Desky (mantan Sekda Aceh Tenggara)
  2. Ibnu Hasyim (mantan Kabag Keuangan)
  3. M. Ridwan (mantan Kasubag Perbendaharaan)
  4. Abdul Manan (mantan Kasda/BUD)
  5. Basri (mantan Kasir Sekdakab)
  6. Mhd. Yusuf (mantan Pemegang Kas Bupati)
  7. M. Yusuf (mantan Staf Bendahara Umum Daerah)
  8. Jamrin Desky (mantan Kasubag Verifikasi)
  9. Lutfi Eka (mantan Kasubag Anggaran)

10.Gunawan Syah Putra (mantan Staf Pemegang Kas)

11.H. Umurudin Desky (mantan Ketua DPRD)

12.M. Salim Fakhri (mantan Wakil Ketua DPRD)

13.H. Syekh Ahmadin (mantan Wakil Ketua DPRD)

14.Sahadun Desky (mantan Pemegang Kas Sekretariat DPRD)

15.H. Kaman Desky (mantan Kepala Dinas Koperasi dan UKM)

16.Ir. T. Syarifudin (mantan Kepala Dinas Perindag)

17.Pihak pihak lain yang tidak lagi diketahui secara pasti dengan   jumlah uang 7.430.130.000

  1. Bahwa kemudian setelah Bapak Armen Desky divonis bersalah oleh KPK dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta, atas dasar tersebut KPK melalui surat No. R/133/01-20/04/2012 tanggal 5 April 2012 menginstruksikan kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh untuk membuka dan mengusut kembali kasus korupsi APBD Aceh Tenggara Tahun 2004-2006 tersebut.
  2. Bahwa setelah pelimpahan kasus korupsi APBD Aceh Tenggara  tersebut kepada KAJATI ACEH, KAJATI Aceh hingga saat ini baru memperoses dua orang dari 16 pelaku yaitu;
    1. Drs. H. Marthin Desky dengan hukuman pidana penjara selama 2 Tahun dan denda Rp 200 Juta.
    2. Mhd. Yusuf dengan hukuman pidana penjara selama 1 Tahun 8 bulan dan denda 200 Juta.
    3. Sedangkan 14 lainnya sampai hari ini belum diperoses oleh KAJATI Aceh.

9. Amri Sinulingga sebagai pegiat LSM Anti Korupsi demi kepentingan umum yang lebih luas merasa tidak adil atas tebang pilih penanganan kasus tersebut karena masih banyak nama nama lain yang terlibat tetapi tidak ditinjaklanjuti lagi.

10.Bahwa Bupati Aceh Tenggara saat ini Raidin Pinim sendiri selalu berkampanye bahwa pada masa pemerintahannya akan berusaha melakukan perubahan di segala bidang termasuk dalam penempatan pejabat penting berdasarkan integritas, tidak mempunyai cacat  moral.

11.Bahwa dengan kampanye Bupati tersebut Amri Sinulingga merasa terusik untuk melakukan keritik melalui media sosial facebook bahwa faktanya masih banyak pejabat penting di Pemerintahan Aceh Tenggara menduduki posisi penting padahal mereka pernah ikut terlibat dalam kasus APBD Aceh Tenggara Tahun 2004 - 2006 dimana salah satunya adalah Muhammad Ridwan yang diangkat sebagai SEKDA Kabupaten Aceh Tenggara saat ini.

12.Bahwa keterlibatan Bapak Muhammad Ridwan dalam kasus APBD bukan suatu karangan pemohon atau fitnah tetapi keterlibatannya memang tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yaitu No. 51/Pid.Sus-TPK/2014/PN Bna. Bahwa yang mana M. Ridwan sendiri dalam kesaksiannya dibawah sumpah mengakui ada menerima uang sejumlah 250 Juta tetapi sudah dia kembalikan ketika diperiksa KPK dalam perkara Armen Desky.

13.Bahwa apa yang diposting oleh Amri Sinulingga dalam akun facebook miliknya pada tanggal 20 juni tahun 2018 tidak bisa dikategorikan sebagai fitnah atau pencemaran nama baik karena isi postingan tersebut merupakan suatu fakta yang benar dan hasil sebuah putusan pengadilan. Selain itu kasus tersebut sudah berkali kali dimuat di media cetak maupun media online.

14.Bahwa dengan pengembalian uang tersebut tentu tidak bisa menghilangkan tindak pidananya kecuali hanya dapat meringankan hukuman sesuai pasal 4 UU TIPIKOR 1999.

15.Bahwa jika kemudian apa yang diposting oleh Amri Sinulingga tersebut dijadikan sebagai alat bukti tentu tidak signifikan dan kuat untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.

16.Bahwa dengan penetapan tersangka kepada Pemohon oleh pihak Polres Aceh Tenggara tersebut tanpa didukung oleh alat bukti yang kuat dan signifikan tentu telah merusak reputasi dan menghancurkan nama baik pemohon di tengah masyarakat Aceh Tenggara yang selama ini telah dikenal sebagai pejuang Anti korupsi.

Analisis Yuridis

Terkait Alat Bukti

  1. Bahwa berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
  2.  Bahwa berdasarkan pada isi postingan Pemohon dalam media Facebook dan selama masa penyelidikan dan penyidikan, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penghinaan dan Pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 aya (3) UUITE YO Pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 dan pasal 10 dan 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon Polres Aceh Tenggara.
  3. Berdasarkan pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan hukum atas penetapan pemohon sebagai tersangka.

TERKAIT UU ITE pasal 27 ayat (3) YO pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016

  1. Bahwa terkait UU ITE yang diterapkan dalam kasus ini perlu dipertanyakan juga, sebab sesuai pendapat Prof. Dr. Andi Hamzah, pakar hukum pidana mengatakan (dalam acara ILC 5/2/2019) bahwa ada tiga hal terkait UU ITE;

1. UU ITE adalah hukum administrasi, tidak digunakan untuk mempidanakan orang, bila ada kesalahan administrasi yang ada adalah membayar denda atau wajib kerja sosial. Sanksi ini dimaksudkan agar setiap orang mentaati UU tersebut.

2. Ujaran kebencian di berbagai negara demokrasi dimana kebebasan berekpresi adalah HAM . Hal tersebut bukanlah pidana. Pemberlakuan ujaran kebencian di Indonesia sejarahnya sebagai delik pidana adalah hukum kolonial untuk mempertahankan kekuasaan yang di negeri Belanda sendiri tidak ditemukan pasal tersebut. Bila saat ini ujaran kebencian sebagai delik pidana pada UU ITE, itu berlebihan dan meneruskan semangat kolonial. Substansi ujaran kebencian sebetulnya sudah diatur KUHP pada pasal penghinaan.

3.  Perlu direnungkan agar bangsa ini tidak terjebak saling dendam berkelanjutan (antara yang sedang berkuasa dan oposisi) perlu diatur kembali penataan hukum di Indonesia.

4. Khusus UU ITE jangan lagi dijadikan sebagai alat melanjutlan spirit kolonialisme yaitu mempertahankan kekuasaan. Cukuplah UU ITE sebagai hukum administrasi. Bila saat ini dirasakan KETIDAK ADILAN dalam menegakkan hukum pada UU ITE seperti dikeluhkan.

  • Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 955 K/pid.sus/2015yang menolak permohonan KASASI penuntut umum sehingga berlaku Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Adapun anggota DPRD yang mengunggah status di Face Booknya yang memuat tentang erjadinya penyimpangan dana di kota sesuai laporan hasil pemeriksaan BPK”.

Terkait KUHP pasal 310 dan 311

Pasal 310 ayat (1)

Pasal 310 menyebutkan“ Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh suatu hal yang maksudnya terang supaya diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah “.

Ayat (2)

Menyebutkan “ Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah “.

 

 

Ayat (3)

Menyebutkan “ Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa bela diri “.

Tiap tiap perbuatan penghinaan bersifat menyerang nama baik orang maka untuk mengukur sifat objektif dari penghinaan yaitu sampai dimana nama baik orang itu di mata khalayak ramai menurun sebagai akibat perbuatan pebghinaan.

Timbul pertanyaan juga, dengan adanya perbuatan penghinaan itu apakah si korban merasa tersinggung rasa kehormatannya ?

Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam hal ini tidak mungkin disamaratakan oleh karena setiap orang mempunyai rasa kehormatan yang berlainan satu dari yang lain. Ada yang mudah tersinggung tetapi ada yang tidak mudah tersinggung, sehingga bagi para pengusut, penuntut umum, pemutus perkara pidana tidak ada patokan untuk menentukan kapan ada terjadi suatu penghinaan.

Pasal 311 KUHP Ayat (1)

Menyebutkan “ Jika yang melakukan kejahatan melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun “.

Tidak ada penistaan  (smaad) dengan surat kalau nyata perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum, atau mutlak perlu membela sesuatu (noodzakelijk)

Hapusnya Sifat Melanggar Hukum

Ada dua yang dapat menghilangkan sifat melanggar hukum dari penistaan sehingga si pelaku tidak boleh dihukum, yaitu;

  1. Kenyataan bahwa si pelaku mengeluarkan tuduhan yang bersifat menghina ini untuk kepentingan umum (algemeen belaang)
  2. Mutlak perlu untuk membela sesuatu (pasal 310 ayat (3))

Menurut pandangan Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH, apabila seorang pelaku, untuk melepaskan diri dari penghukuman, adalah mengemukakan dengan alasan untuk kepentingan umum atau pembelaan sesuatu  maka hampir selalu persoalannya akan berkisar pada benar atau tidaknya tuduhan yang dilemparkan kepada si korban.

Dalam kasus pemohon, yang mana memposting konten pada akun face booknya yang bertujuan untuk kepentingan umum terkait penempatan pejabat cacat moral (integritas) pada ;posisi jabatan penting, sehingga apa yang dilakukan oleh pemohon dapat dikategorikan untuk kepentingan umum demi tegaknya pemerintahan yang baik (good governance). Tujuan lainnya adalah agar kasus tersebut mendapat perhatian dari aparat penegak hukum agar kasus tersebut ditindaklanuti demi memenuhi asas equality before the law.

Pasal 311 KUHP, yang mengancam pidana penjara paling lama 4 tahun jika yang melakukan kejahatan pencemaran nama baik atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu memang benar. Dalam hal ini pelaku harus membuktikan kebenaran, dan apabila gagal membuktikannya maka dianggap tuduhan itu bohong, maka si pelaku dihukum karena memfitnah.    

PETITUM

Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kutacane yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Primair

  1. Menyatakan diterima permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penghinaan dan Pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UUITE dan Pasal 45 ayat (3) UU No.19 Tahun 2016 dan KUHP pasal 310 dan 311 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo harus dibatalkan karena tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk mengentikan penyidikan terhadap penyidik kepada termohon
  5. Memulikan kepada Termohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara dan biaya rehabitasi menurut ketentuan hukum yang berlaku

 

Subsidair

Apabila yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kutacane yang memeriksa Permohonan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Pihak Dipublikasikan Ya